Antara Aku, Nirvana dan Semesta
Aku tahu, kadang hidup taksemulus yang dibayangkan. Semua terklasifikasi dengan baik. Aku menatapi masa lalu, yang akupun takakan pernah bisa kembali.
Jalan itu aku tempuh, padang pasir panas dengan sedikit air. Kaktus dibeberapa titik, kupaksa memberiku sedikit hidup. Entah berapa lama perjalanan itu, penuh tangis, keringat. Malam hingga kembali pagi, hanya segenggam keberanian dipunggungku membuatku terus melangkah.
Padang pasir berlalu, oh savana.. Terimakasih telah menampungku. Namun ingatanku di padang pasir masih membuntuti. Gemericik pasir terbelai angin itu, terdengar jelas disetiap mimpi. Aku sadar, mulai menyukai suara itu.
Perjalanan harus aku tempuh entah itu suka tidak suka. Sebagai makhluk hidup, dengan kebutuhan cairan setiap hari tidaklah mungkin aku bersikeras disana. Aku harus melangkah. Entah kemana, di kedamaian itu.
Suara katak, burung, saling beradu. Ku dengar bunyi yang ngeri ditelinga ketika ku setengah tidur. Bunyi ngilu, membuatku taktahan dan aku mulai membuka mata sedikit. Dadaku semakin menyesak, air mataku mengalir deras, tapi tidak ada suara apapun dari mulutku.
Aku dilewati sebuah binatang melata, tidak mengenaiku persisnya. Dia berjalan disampingku. Ukurannya sebesar tangan kananku. Aku tidak tahu nama jelas binatang itu, aku berterimakasih karena aku baik baik saja.
Paginya aku berjalan penuh rasa syukur, pagi yang indah udara yang segar dan cahaya pagi membelai kulitku hangat, untuk meneruskan harapan. Savana ini, sungguhlah indah. Unik. Aku melihat semak semak dan pohon kecil tempat sebuah keluarga burung kecil bernyanyi.
Sebelum melakukan perjalanan ini, aku sudah tahu runtutan tempat yang aku lewati sebelum kota tujuan utama. Banyak informasi kudapat dari catatan pejalan kaki, peta, bahkan dari beberapa orang yang aku temui. Mereka berkata mustahil untuk aku bisa mencapai nirvana itu. Kenapa bisa begitu? Aku marah, dibenakku tidak ada yang tidak mungkin didunia ini selain membalikkan matahari terbit dari barat.
Sebuah kitab berkata, jika kamu tahu itu jurang dan kamu masih ingin melewatinya berarti kamu adalah manusia yang tidak berakal. Aku tersinggung dengan caranya memberi wacana. Aku berfikir, apakah ini yang membuat orang berdoa agar dijauhkan dari segala masalah?. Aku sadar sekali dalam hidupku, bahwa setiap masalah lah yang mendewasakan sudut pandang kita. Oleh karena itu, aku bersikeras akan melewati jurang itu dan melewati gunung itu. Bagaimanapun caranya.
Aku menulis sebuah catatan, agar nanti saat aku sampai aku bisa membedakan emosi ku sekarang dan yang akan datang.
Aku makan banyak. Makan enak. Sebuah cahaya telah datang dan membuatku tersenyum, hidupku masih aman. Aku masih mempunyai tabungan cukup untuk perjalanan berat ini. Sesegera, pagi ini aku membersihkan seluruh tubuhku dan melupakan ingatan tentang semua ketidakpercayaan, ketidakmungkinan itu.
Aku sampai dititik dan seluruh tubuhku merinding. Mengapa tidak ada jalan menuju gunung itu. Jurang ini sangat terjal. Takmungkin jika aku melompat seperti di film fiksi. Aku masih ingin hidup. Aku menyusuri tepi jurang, sedikit demi sedikit aku menemukan celah jalan. Aku menemui tebing penghubung gunung. Aku tersenyum. Semua akan ada jalan ketika kita memiliki harapan.
Perutku tiba tiba kroncongan dan aku mengalami kehausan akut. Dehidrasi. Otakku sudah tidak bisa kugunakan untuk berfikir. Aku terengah engah ditengah tebing. Aku berteriak menangis terisak isak. "Jangan cobai aku.." kata suara hatiku.
Aku mengunyah dedaunan itu sambil memegangi tangkainya. Tebing ini cukup terjal, tapi cukup sedikit jarak aku bisa mencapai gunung itu. Gunung Nirvana dan setelahnya adalah kota Nirvana. Kota impian.
Aku berlari sambil tertawa, semesta membelaku untuk hidup. Berhari - hari takmakan daging, badanku takcukup kuat untuk tertawa lepas. Disitu kebahagiaan saya terkikis.
Menyusuri Gunung Nirvana, mengesankan bagiku. Namun, aku takingin tinggal terlalu lama disana jiwaku memberontak untuk tetap berjalan sampai Kota Nirvana.
Kota Nirvana, adalah kota dimana penduduknya merasa bangga terlahir disana. Tidak ada tekanan sama sekali. Hanya, aku harus membiasakan diri dengan keadaan sebagai makhluk hidup yang tetap harus bertahan hidup. Aku perlu uang. Ya, sekarang aku bekerja di sebuah job yang dihargai mahal.
Apapun bisa aku temui di kota Nirvana, namun aku menyesalkan bahwa geloraku mulai kutangisi dalam batin. Aku meminum sebuah bir dan sedikit tangisan itu mereda. Hangatnya bir memberi kedamaian batin. Kuhisap sakau itu, ah cocok. Nikmat. Aku tertidur pulas disana.
Aku berjanji aku tak akan pernah kembali ketempat itu. Wajahku sudah tercoreng disana seolah olah aku seorang tunawisma, tanpa kejelasan hidup. Ah, memalukan.
Aku duduk di sebuah tebing di sebuah bukit. Kota Nirvana memang indah, aku mengakuinya. Takheran jika semua penduduk disini bertahan meskipun aku menyadari berat untuk tetap tinggal disini.
Seberat apapun, karena aku hanya pendatang yang mencari kedamaian batin. Aku tak menemukan damai batin disini. Aku mulai begah dan semua hidupku aku curahkan untuk bertahan hidup. Hal yang tidak adil untuk semesta. Pada prinsipnya, aku mewajibkan diriku bagaimanapun caraku hidup aku harus memberi penghargaan untuk semesta. Ya semesta, yang telah menjadi penyelamatku.
Aku mulai mencoret coret sebuah kertas bertanya 5 W + 1 H.
Seluruh pertanyaan berpusar pada semesta, aku taksanggup lagi. Aku mulai berlagak gila. Mengapa harus begini? Aku sadar aku terlalu serakah, terlalu berani menakhlukan semesta. Em.. Lebih tepatnya berteman dengan semesta.
Aku bukanlah orang pandai, kadang aku rendah diri, kadang kesombonganku melewati batas tapi semua itu tenggelam dalam diam hanya kuceritakan dengan semesta.
Ini bukan waktunya, untuk berencana. Meninggalkan nirvana. Akupun taktahu, apa rencana yang baik untuk aku jalani. Tapi, disisi lain aku tak mau tinggal terlalu lama. Aku takamau menjadi ketergantungan dengan buaian kota ini.
Yah, aku mulai menjual seluruh kekayaanku. Rumah, mobil, sepeda, sepeda motor, dan memutuskan hubungan dengan kekasihku. Berat karena semua jauh dari nalar. Batinku tersiksa. Apakah aku gila? Kutangisi ini semua, dengan ketidakadilan dan kemewahan kota ini.
Aku sepakat untuk meninggalkan kota ini di bulan 8 mendatang. Apapun resikonya, aku harus mencari cara agar semua tetap seimbang antara aku dan semesta. Aku pejamkan mataku fokus dengan nafas ditubuhku. Tertidur pulas. Berharap semesta membangunkanku dengan hembusan pagi dan atau secercah cahaya kedamaian yaitu pagi.
Cerita diatas, hanya sebuah ilustrasi. Setiap pilihan ada resiko yang diambil. Setiap orang punya pertimbangan masing masing untuk mengambil keputusan bulat, atau menyerah dengan keadaan. Setiap hidup akan selalu begitu, tapi hidup akan berarti jika kita tetap berteman dengan semesta.😊
Comments
Post a Comment