Memutuskan Menikah
Saya berkenalan dengan suami saya, mantan pacar saya kira -kira di Bulan Januari 2017. Ketika masa pencarian, saya tidak pernah menolak setiap orang yang ingin mendekati, saya pelajari dahulu saat kenal.
Ada beberapa yang hanya berteman dan saya stop tiba-tiba dengan alasan yang bisa di nalar. Bahkan ada juga yang sebelum saya stop udah kabur duluan... haha..
Suamiku ini, adalah orang yang pinter.
Apa saja yang saya pikirkan hingga saya memutuskan menikah ?
1. Dikompori usia
Saya menikah umur 30 tahun. Sebelumnya saya tidak terlalu ingin, karena saya fokus mengembangkan diri sendiri. Rencana banyak, seperti travelling, berkelana, dan kuliah lagi.
Namun, suamiku datang dan berkata,"Apa yang mau dicari lagi?". Ujung-ujungnya setiap manusia membutuhkan teman hidup selain keluarga.
Suami saya juga selalu mendongengi tentang kisah Socrates dan Plato, makna cinta sejati yang kuncinya adalah meyakini pilihan kita karena tidak ada yang sempurna, ketika sedang berjalan di taman bunga kita akan dihadapkan dengan pilihan - pilihan bunga tetapi karena keserakahan, kita akan tetap mencari yang terbaik/ terindah dan disebuah penghujung taman, kita tidak akan mendapatkan apapun. Kunci kisah tersebut adalah memilih dengan keyakinan.
2. Menerima apa adanya
Ya, saya malas masak dia yang masakin. Saya malas nyuci, dia yang nyuci. Saya marah, dia kalem. Saling melengkapi. Awal pernikahan memang sulit, ego masing-masing dipertahankan. Apalagi saya baru pindah ke Jakarta, tekanan kerja banyak, dan masih penyesuaian. Disitu emosi saya meluap-luap sampai ga muat ditampung otak.
3. Karakter yang cocok
Kami sama-sama Pisces. Sensitif dan agak aneh. Suka ngobrol dan bertukar pikiran.
4. Mau Usaha
Dia mau menempuh jarak yang melelahkan dan gila kupikir demi mempertahankan cintanya.
5. Boleh Ngebolang tanpa si Doi
Saya suka banget jalan-jalan, untuk meratapi nasib dan memperkaya batin. Ga munafik, memperkaya Foto juga iya.. hehe.. Selama ini suami sepakat untuk tidak melarang travelling dengan besties.
Pada hakikatnya, menikah itu bukanlah hal yang gampang. Kita coba bayangkan, 2 individu tinggal bersama, masing-masing memiliki ego, masing-masing bisa hidup sendiri. Dari kacamata saya, sebagai wanita, untuk laki - laki memang membutuhkan wanita untuk merawat dan mensupportnya. Olehkarena itu, banyak pria yang bersyukur sudah mendapatkan pasangan (apalagi pasangan yang tepat). Namun apa boleh buat ya, beberapa pasutri berpikir bahwa mereka salah memilih pasangan karena mereka tidak cukup bahagia setelah menikah.
Berat ya,, hehe.
Saya tidak munafik, tantangan tersebut memang ada dan membuat kita terjerembab, menuntut pasangan berubah dan lebih perhatian. Menuntut orang lain dengan standar kita adalah hal yang mustahil, kecuali kita mampu menikah dengan diri sendiri. Oleh karena itu, saya mencoba bertanya pada diri sendiri dan mengidentifikasi sifat saya.
Pada akhirnya saya digiring dari titik balik segala pertanyaan terhadap diri sendiri. Kuncinya adalah ego, sehingga saya mulai memurnikan ego saya. Meskipun saya hanya manusia biasa dan kadang ego bisa naik +1, +2, dan saat itulah saya mulai memahami kekhilafan yang sudah saya perbuat. Kadang ketika marah, sebel kita hanya perlu untuk menarik nafas dalam-dalam. Itupun saya lakukan. Kemudian saya mulai mengenal meditasi, saya mulai menyadari bahwa permasalahan tersebut sebenarnya datang dari diri saya pribadi. Saya pun mulai melepaskan kemelekatan tuntutan terhadap suami, dan mengikhlaskan dia bertumbuh dalam hidupnya. Prosesnya memang tidak gampang ya.
Akarnya adalah pernikahan itu sebuah takdir. Kita membutuhkan orang untuk bertumbuh. Ada bagian dari diri suami saya yang membuat saya bertumbuh. Saya juga menginginkan pernikahan kami happy ending. Jika teman-teman menyadari takdir di masa sekarang, apakah kalian tega jika takdir kalian akan menyiksa selama hidup? Jika tidak, maka sama dengan saya yaitu saya mulai melepaskan suami saya mau seperti apa dan cukup mengarahkannya saja, saya mulai mencari kata-kata bahagia dan hal itu pun syukurnya, juga tercermin dengan tingkah laku.
Saya bersyukur bahwa sejauh ini, ego ini cukup aman terkendali dan jika ada yang bilang jika menikah itu adalah perjalanan spiritual, saya bisa berkata benar. Saya pun sepakat dengan suami bahwa hal yang tidak diperbolehkan dalam menikah adalah selingkuh dan KDRT. 2 alasan tersebut adalah sebuah noda untuk kata bahagia.
Saat saya mulai merevisi tulisan ini, saya menyadari bahwa tidak ada pertemuan yang sia-sia, menyelesaikannya dengan happy ending, meminta maaf jika salah dan memaafkan dengan ikhlas karena semua orang hidup untuk bertumbuh kearah yang lebih baik.
Semakin berjalan, saya pun memahami adanya hukum sebab akibat, adanya mengapa dan karena yang semua itu bisa dicari didalam diri. Hukum tarik menarik sejenis, sejatinya saya dan suami saya adalah pribadi yang sama- sama ingin bertumbuh.
:)
Comments
Post a Comment